pil-tei

Benarkah Ateis Lebih Cerdas Dari Yang Beragama?

Selama lebih dari satu milenium, para ilmuwan telah memerhatikan korelasi yang aneh, yakni ateis atau tidak beragama cenderung lebih cerdas daripada orang-orang religius atau beragama. Tidak jelas mengapa tren ini terus berlanjut. Namun sebuah studi baru memiliki gagasan bahwa ‘agama adalah naluri’ dan orang-orang yang bisa melampaui naluri lebih cerdas daripada mereka yang mengandalkannya.

Ateis atau Beragama yang Lebih Cerdas?

Ateisme adalah sebuah pandangan filosofi yang tidak mempercayai keberadaan Tuhan dan dewa-dewi ataupun penolakan terhadap teisme. Dalam pengertian yang paling luas, ia adalah ketiadaan kepercayaan pada keberadaan dewa atau Tuhan. Identitas ateis (atau agnostik) bukan keanehan. Banyak orang dengan sengaja meninggalkan kepercayaannya. Pew Research menyebutkan, setidaknya 97 juta orang di dunia merupakan kelompok non-pemeluk agama atau ateis. Selanjutnya, munculah pembagian kelompok pemeluk agama dan non-agama. Keduanya tentu saja tidak dilihat melalui identitas fisik seperti suku atau etnis.

Pemahaman agama, bagaimanapun, ialah personal. Ini tentang bagaimana manusia memahami kehidupannya. Sehingga, diskursus tentang kepercayaan lalu merembet ke ranah studi psikologi. Salah satu bentuk klaimnya adalah ateis menyebut diri sebagai orang-orang rasional yang menghindari pemikiran transendental (abstrak/kerohanian). Alih-alih memercayai kekuatan supernatural dan tangan Tuhan yang menjadikan semuanya ada, menurut mereka setiap peristiwa dalam hidup memiliki alasan yang bisa dibuktikan secara saintifik.

Salah satu yang saat ini banyak dibicarakan adalah komparasi berujung kesimpulan bahwa ateis memiliki kecerdasan di atas kelompok religius. Live Science melansir penelitian yang menyebutkan bagaimana ateis memiliki kecerdasan lebih dibanding dengan mereka yang memeluk agama. Jurnal ilmiah berjudul The Relation Between Intelligence and Religiosity: A Meta-Analysis and Some Proposed Explanations mencatat ada 63 penelitian yang menghubungkan kecerdasan dan religiusitas. Dari semua penelitian yang membentang dari tahun 1928 hingga terakhir 2015, seluruhnya menunjukkan hasil serupa: ateis lebih cerdas dibanding orang beragama.

Kecerdasaan menjadi bagian sentral dalam studi psikologi abad ke-20. Dalam sebuah penelitian, psikolog University of California, Barkeley Linda Gottferdson menyabut intelligence atau kecerdassan adalah “kemampuan untuk membangun alsan, menyelesaikan masalah, berpikir abstrak, menjelaskan gagasan yang kompleks, beljar dengan cepat dan belajar dari pengalaman.”

Sementara religiusitas sering dilihat sebagai konsep tentang bagaimana manusia patuh terhadap segala macam dogma dan ajaran agama. Agama begitu berpengaruh dalam menggerakkan masyarakat. Para sosiolog, mulai Auguste Comte, Emile Durkheim, dan Max Weber, sepakat bahwa manusia pada mulanya digerakkan oleh spiritualitas.

Namun para sosiolog tersebut juga mengatakan, kelak manusia akan mengedepankan rasionalitas dan meninggalkan sesuatu yang supernatural. Sehingga, konsep religiusitas dianggap bertentangan dengan ilmu pengetahuan. Tulisan Edward Dutton dan Van Der Linden berjudul Why is Intelligence Negatively Associated with Religiousness? Mengatakan bahwa agama merupakan insting (naluri) dan memerlukan kecerdasan untuk bisa menghadapi insting tersebut. Agama dan kecerdasan, meski terkesan saling melengkapi, namun dianggap Dutton sebagai kombinasi negatif.

“Kecerdasan bekerja berlawanan (dengan agama). Ia dapat digunakan lebih tinggi dari insting. Ada kecenderungan, sesuatu yang tak berkaitan dengan insting akan mampu dipahami oleh kecerdasan dan dapat membantu kita menyelesaikan masalah yang kita hadapi,” ujar Dutton. Hasil sejumlah penelitian memperlihatkan, masyarakat beragama memiliki kekurangan, yakni gagal menciptakan kecerdasan logika di tengah mereka.

Penelitian sederhana oleh Reeve dan Basalik tentang seberapa religius masyarakat yang di dalamnya terdapat sejumlah orang ber-IQ tinggi, menyimpulkan “Populasi dengan tingkat IQ lebih tinggi kemungkinan besar menjauh dari kebiasaan agama dan menjadi lebih rasional.” Penelitian lain bahkan menelurkan kesimpulan yang lebih mencengangkan. Penelitian yang dipimpin Profesor Gijben Stoet dari Leeds University ini mengukur tingkat religiusitas 82 negara.

Penelitian tersebut menunjukkan, negara-negara religius seperti Indonesia, Qatar, Yordania, Yaman, dan Mesir memiliki populasi dengan kemampuan rendah dalam menyerap ilmu pengetahuan alam dan hitung-menghitung. Aktivitas pendidikan di negara-negara religius terlihat lebih menghabiskan waktu namun tak mengasah kemampuan dalam memahami ilmu pengetahuan.

Namun tak semua akademisi “menyudutkan” agama. Profesor Ilmu Neurologi dari Universitas Oxford, Professor Dominic Johnson, menyebutkan bahwa “klaim” kelompok ateis bahwa mereka sangat rasional, sesungguhnya lemah. Ia berkata, “manusia pada dasarnya percaya pada sesuatu yang tidak terlihat, semacam Sesuatu yang Maha Kuat. Bahkan hal itu juga terjadi pada para ateis yang merasa paling rasional.”

Insting religius

Di masa Yunani dan Roma Kuno, beredar kabar bahwa ‘orang bodoh’ cenderung religius, sementara ‘orang bijak’ sering skeptis. Dutton dan para ilmuwan menjalankan meta-analisis terhadap 63 studi dan menemukan bahwa orang-orang religius cenderung kurang cerdas daripada orang-orang ateis. Dosen Filsafat Sains dari Universitas Oxford, Inggris, Nathan Cofnas, justru melakukan pendekatan melalui ‘insting religius’ (naluri beragama). “Jika agama memiliki dasar instingtual, maka orang yang cerdas akan lebih mampu menerima dan mengadopsi ateisme,” kata Cofnas.

Namun begitu, tanpa mengetahui sifat yang tepat dari ‘insting religius’, ia mengaku tidak dapat mengesampingkan kemungkinan bahwa atheisme memanfaatkan naluri yang sama. Cofnas mencontohkan penulis Christopher Hitchens berpikir bahwa komunisme adalah agama, atau gerakan sekuler seperti veganisme. Menurutnya, gerakan keagamaaan dan nonreligius bergantung pada iman yang mengidentifikasi dengan komunitas yang sepaham dan fanatik.

“Saya pikir itu menyesatkan untuk menggunakan istilah ‘agama’ sebagai dalih untuk apapun yang tidak Anda sukai,” kata Cofnas. Lalu, adakah kaitan antara naluri dan stres?

Dutton menekankan bahwa orang cenderung beralih ke agama ketika mengalami masa-masa sulit, seperti misalnya menghadapi kematian. Sebab, naluri mereka menganggap agama sebagai pemecah masalah (problem solving) yang lebih baik. Ia juga berpendapat bahwa kecerdasan membantu orang naik di atas naluri ini selama masa stres. “Jika agama benar-benar sebuah domain yang berkembang – sebuah naluri – maka akan semakin tinggi pada saat stres. Orang cenderung bertindak secara naluriah, dan ada bukti jelas untuk ini,” kata Dutton.

Most Popular

To Top