pil-tei

Benarkah Bunuh Diri Dipengaruhi Faktor Genetik?

Jika kalian memiliki penyakit kanker atau pun penyakit jantung, pasti kalian pernah mendengar bahwa penyakit tersebut adalah penyakit keturunan dari keluarga anda. Yah, biasa nya penyakit semacam kanker ataupun penyakit jantung biasa nya adalah penyakit turunan keluarga. Dan tak hanya penyakit itu saja yang bisa menular, sebagian penyakit ringan nya juga bisa menular ke orang lain yang tak hanya satu darah seperti sakit cacar, sakit mata dan lainnya.

Tapi, tahu kah anda kalau bunuh diri juga faktor dari genetik? Wah, bagaimana bisa jika bunuh diri dikatakan sebagai faktor genetik? Saat ini tak sedikit orang yang mati karena bunuh diri. Tak hanya di alami oleh orang biasa, tetapi bunuh diri juga di alami sebagian artis besar, orang penting negara dan ilmuwan sekali pun. Alasan yang sering kali dipakai oleh orang bunuh diri adalah “depresi”. Ya, depresi sering kali membuat orang merunggut nyawa nya. Lalu, benarkah bahwa bunuh diri adalah faktor genetik? Yuk, lihat penjelasannya.

Sejarah Bunuh Diri

Dalam sejarah Athena kuno, orang yang melakukan bunuh diri tanpa persetujuan negara ditolak untuk dimakamkan secara wajar dengan penghormatan. Orang tersebut akan dimakamkan sendirian, di pinggiran kota, tanpa nisan atau tanda. Dalam sejarah Yunani Kuno dan Roma bunuh diri itu dianggap metode yang dapat diterima saat mengalami kalah perang. Di Roma kuno, bunuh diri pada awalnya diizinkan, tetapi kemudian hal tersebut dianggap sebagai kejahatan terhadap negara karena menimbulkan biaya.

Peraturan pidana yang dikeluarkan oleh Raja Louis XIV dari Prancis pada tahun 1670 jauh lebih berat hukumannya: tubuh orang yang meninggal diseret melintasi jalan-jalan, dalam kondisi tertelungkup, dan kemudian digantung atau dibuang di tumpukan sampah. Selain itu, semua harta orang tersebut disita. Dalam sejarah gereja Kristen, orang yang mencoba bunuh diri dikucilkan dan mereka yang meninggal karena bunuh diri dimakamkan di luar kuburan suci. Pada akhir abad ke-19 di Inggris, mencoba bunuh diri itu dianggap sama dengan percobaan pembunuhan dan bisa dihukum gantung. Di Eropa pada abad ke-19, tindakan bunuh diri mengalami pergeseran pandangan dari sebelumnya sebagai tindakan akibat dosa menjadi akibat gila.

Filosofi Bunuh Diri

Sejumlah pertanyaan diajukan dalam filosofi bunuh diri, termasuk apa yang termasuk dalam kategori bunuh diri, apakah bunuh diri bisa menjadi pilihan yang rasional atau tidak, dan kebolehan secara moral untuk bunuh diri. Argumen filosofis terkait apakah bunuh diri bisa diterima secara moral atau tidak berkisar dari oposisi yang kuat, (melihat bunuh diri sebagai tindakan tidak etis dan tidak bermoral), hingga persepsi bahwa bunuh diri sebagai hak sakral bagi siapa saja (bahkan bagi orang yang masih muda dan sehat) yang merasa yakin bahwa mereka secara rasional dan sadar dapat mengambil keputusan untuk mengakhiri hidup mereka sendiri.

Para penentang bunuh diri termasuk para filsuf Kristen seperti Augustine of Hippo dan Thomas Aquinas, Immanuel Kant dan, boleh dibilang, John Stuart Mill – Fokus Mill tentang pentingnya kebebasan dan otonomi berarti bahwa ia menolak pilihan yang akan mencegah seseorang membuat keputusan otonom pada masa depan. Orang lain melihat bunuh diri sebagai masalah pilihan pribadi yang sah-sah saja. Para pendukung posisi ini mempertahankan bahwa tidak ada yang harus dipaksa menderita dengan melawan keinginan mereka, terutama dari kondisi seperti penyakit yang tidak tersembuhkan, penyakit mental, dan usia tua yang sudah tidak mungkin lagi mengalami perbaikan.

Mereka menolak keyakinan bahwa bunuh diri itu selalu irasional, dengan alasan bahwa tindakan itu dapat menjadi pilihan terakhir yang berlaku bagi mereka yang mengidap penyakit atau trauma berat yang berkepanjangan. Pendirian yang lebih kuat berpendapat bahwa orang harus diperbolehkan untuk secara mandiri memilih mati terlepas apakah mereka sedang menderita atau tidak. Pendukung terkemuka untuk aliran pemikiran ini di antaranya pakar empiris Skotlandia David Hume dan pakar bioetika Amerika Jacob Appel.

Faktor Percobaan Bunuh Diri

Faktor Percobaan Bunuh Diri atau keinginan percobaan bunuh diri adalah salah satu kondisi yang sangat mengkhawatirkan dari berbagai sudut pandang. Mulai dari sudut pandang agama, sosial, hingga psikologis menganggap bahwa usaha untuk melakukan bunuh diri adalah salah satu prilaku yang sangat mengkahatirkan dan juga gawat. Secara umum, keinginan untuk melakukan bunuh diri ataupun percobaan bunuh diri merupakan suatu tindakan pembinasaan yang disadari dan ditimbulkan sendiri. Banyak yang mengatakan bahwa bunuh diri sebenarnya bukan merupakan tindakan yang asal dan tanpa perhitungan.

Justru, bunuh diri adalah suatu tindakan yang sudah dipikirkan dan juga diperhitungkan oleh mereka yang melakukannya. Bunuh diri dianggap sebagai salah satu cara untuk keluar dari masalah atau krisis yang selalu menyebabkan atau menimbulkan penderitaan yang kuat.

Apa yang menyebabkan munculnya percobaan bunuh diri?

Banyak yang mengatakan bahwa bunuh diri merupakan salah satu tindakan yang dilakukan karena adanya masalah yang terlalu berat dan tidak sanggup dipikul. Lainnya mengatakan bahwa tindakan bunuh diri, atau setidaknya percobaan dan keinginan untuk melakukan bunuh diri ini disebabkan oleh masalah psikologis berat, mulai dari episode depresif, gangguan mood, gangguan kepribadian, dan masalah psikotik lainnya.

Namun ada hal yang cukup mengejutkan dari tindakan bunuh diri ini, dimana ternyata tindakan bunuh diri, atau keinginan dan percobaan bunuh diri ini bisa juga muncul karena faktor genetik, alias faktor keturunan di dalam keluarga.

Bunuh Diri Faktor Genetik

Ternyata, memang benar bahwa faktor genetik yang berjalan di dalam sebuah keluarga bisa menjadi salah satu penyebab munculnya tindakan bunuh diri, atau minimal keinginan dan juga percobaan bunuh diri pada diri seseorang. Beberapa penelitian mengenai mereka yang pernah melakukan tindakan bunuh diri, ternyata memberikan fakta bahwa riwayat bunuh diri di dalam keluarga ditemukan memiliki makna yang lebih banyak pada mereka yang melakukan bunuh diri atau percobaan bunuh diri.

Penelitian lainnya juga mengatakan bahwa resiko bunuh diri untuk saudara derajat pertama yang memiliki riwayat bunuh diri adalah 8 kali lebih besar muncul dibandingkan mereka yang tidak memiliki anggota keluarga dengan riwayat bunuh diri. Hal ini bisa terjadi karena ada kemungkinan role model memiliki dampak yang penting. Anggota keluarga yang sebelumnya pernah melakukan bunuh diri atau percobaan bunuh diri bisa saja menjadi role model, dan dicontoh oleh anggota keluarga mereka yang lainnya.

Selain dapat menjadi faktor yang berdiri sendiri (tanpa adanya gangguan psikologis khusus), masalah bunuh diri secara gentika juga bisa muncul akibat adanya gangguan psikologis berat yang bisa diturunkan secara genetik. Gangguan psikologis berat, seperti misalnya skizofrenia dan juga gangguan bipolar adalah dua dari beberapa macam gangguan psikologis yang memunculkan ide bunuh diri (suicide idea). Lalu, selain faktor genetik apakah bunuh diri dapat menular ke orang lain?

Bunuh Diri Bisa Menular?

Seperti yang kita ketahui bahwa vokalis Linkin Park meninggal dunia pada bulan Juli tahun 2017 di usianya ke-41. Bennington memilih mengakhiri hidupnya dengan menggantung diri di kediamannya di Palos Verdes Estates, California. Peristiwa ini mungkin mengingatkan masyarakat Indonesia dengan Pahinggar Indrawan yang menjerat dirinya sendiri dan menyiarkannya secara langsung melalui akun Facebook pada bulan Maret 2017 lalu. Pada saat itu, timbul kekhawatiran bila aksi Pahinggar dapat menulari orang lain untuk bunuh diri. Namun, benarkah demikian?

Psikolog klinis dan forensik Kasandra Putranto mengatakan, definisi menular tidaklah tepat digunakan untuk peristiwa bunuh diri. Menular, lebih tepat dipakai untuk perpindahan virus penyebab penyakit dari satu manusia ke manusia lainnya. “Bunuh diri itu bukan menular. Orang sering bilang bunuh diri menular, tapi itu tidak cocok. Tepatnya, membuat orang lain memiliki ide yang sama.”

Kasandra menuturkan, bunuh diri terkait dengan depresi. Selain itu, bunuh diri juga ditenggarai dengan kondisi genetis yang dibawa dari kedua orang tua dan lingkungan sosial. “Orang-orang depresi itu diduga ada kaitannya dengan rendahnya dopamin, adrenalin, dan ketidakseimbangan serotonin. Lalu, ada juga kadar zinc dalam darah yang rendah.”

Menurut Kasandra, indikasi depresi terjadi saat seseorang lebih memilih menyendiri dan tidak melakukan apapun. Termasuk tidak ingin bertemu dengan orang lain hingga tidak ingin makan. Pada tahap ini, seseorang merasa tidak bahagia dan perasaan menjadi seseorang yang sia-sia membekas di dalam otak hingga suatu rangsangan dari luar dapat mencetuskan untuk melakukan tindakan bunuh diri. Rangsangan itu bisa datang dalam beragam bentuk seperti film, musik, dan berita.

Untuk berita kematian Bennington misalnya, Kasandra menganjurkan kepada pasiennya untuk tidak terlalu banyak menonton televisi atau membaca berita terkait hal itu. “Film, lagu, berita, itu harus hati-hati karena itu sangat memberikan ide bagi orang yang sedang bersedih. Kalau didengarkan terus oleh orang yang sedang sedih, (lagu itu) malah bisa jadi pemicu.” Dia pun mengakui bahwa ada salah satu pasiennya yang membaca berita kematian Bennington kemudian menjadi terngiang dan terinspirasi, hingga sempar terpikir untuk bunuh diri.

Nah, jadi bisa disimpulkan, selain banyaknya tekanan dari lingkungan sosial yang menyebabkan munculnya bunuh diri atau keinginan dan percobaan bunuh diri, ternyata faktor genetik juga memegang peranan yang cukup penting dalam masalah ini.

Most Popular

To Top