pil-tei

Hindari Stres di Luar Angkasa, Astronot Dibuatkan Pakaian Baru

Sebelum astronot diberangkatkan ke luar angkasa ada banyak daftar pemeriksaan cukup panjang yang harus dilalui. Salah satu hal terpenting adalah pemeriksaan keadaan pesawat luang angkasa. Mulai dari fungsinya sebagai alat transportasi, sampai pertimbangan lain yang meliputi makanan ramah luang angkasa, alat yang digunakan di nol gravitasi, sarana komunikasi ke bumi, dan lainnya. Pelatihan, persiapan, dan kelengkapan astronot sangat diperhatikan NASA dan badan antariksa lain.

Namun, hingga saat ini astronot juga masih menghadapi sejumlah risiko kesehatan, terutama yang berkaitan dengan paparan sinar radiasi. Efek radiasi sendiri sangat berbahaya untuk kesehatan. Termasuk di antaranya peningkatan risiko terhadap beberapa jenis kanker, mutasi genetik, kerusakan sistem saraf, dan katarak. Sebab itu, tim internasional dari NASA Ames Research Center dan peneliti lain merencanakan membuat sebuah teknologi masa depan yang disebut human radioresistance.

Makalah yang diterbitkan di jurnal peer-reviewed Oncotarget, membahas sejumlah kemungkinan agar astronot dapat dipersiapkan dengan lebih baik jika mengalami iradiasi HZE atau radiasi ruang angkasa.

Teknologi Human Radioresistance

NASA telah mengumpulkan data paparan radiasi pada semua astronotnya dalam satu dekade terakhir. Data tersebut membantu memahami efek paparan radiasi, namun belum dapat menunjukkan strategi khusus untuk mengurangi atau mencegahnya. Demi mewujudkan mimpi besar ini, tim ahli internasional ikut bergabung.

Mereka akan memanfaatkan ilmu pengetahuan modern yang bisa ditawarkan dengan cara mengedit genetik, menginvestigasi individu yang secara genetis cenderung melakukan radioproteksi, terapi gen, melakukan teknik kriopreservasi (teknik penyimpanan sel hewan, tumbuhan, atau materi genetika lain dalam keadaan beku, red), dan biobanking (jenis biorepository yang menyimpan sampel biologis manusia untuk digunakan dalam penelitian, red).

Diharapkan dengan begitu astronot manusia di masa depan bisa dilengkapi dengan radioresistance bahkan mungkin di tingkat biologis. Selain itu, laporan ini juga bertujuan untuk menyampaikan pentingnya investasi dalam penelitian di bidang radiobiologi, biogerontologi, pengobatan regeneratif, dan kecerdasan buatan sehingga solusi tersebut dapat berguna di masa depan. “Perjalanan yang memakan waktu satu tahun atau lebih di luar magnetosfer bumi, akan membawa dampak yang tinggi pada kesehatan astronot karena terpapar radiasi kosmik.

Jadi lebih baik mulai sekarang kita memikirkan bagaimana mengatasi tantangan ini,” kata Dmitry Klokov, Kepala Seksi Radiobiologi & Kesehatan di Laboratorium Nuklir Kanada yang ikut menulis laporan dilansir Futurism. Kemajuan di bidang ilmu pengetahuan apa pun yang dapat membantu memfasilitasi perjalanan luar angkasa yang aman dan panjang juga diyakinin akan membantu.

“Cara ini akan meningkatkan biologi manusia di luar batas alamiah yang tidak hanya akan memberikan ketahanan umur panjang dan penyakit tetapi juga penting untuk eksplorasi antariksa di masa depan,” kata João Pedro de Magalhães, rekan penulis. Penelitian ini diharapkan akan berhasil sehingga dapat bermanfaat tidak hanya untuk manusia yang tinggal di ruang angkasa tapi juga yang hidup di bumi. Tak hanya membuat sebuah teknologi Human Radioresistance saja. Astronot juga akan memiliki pakaian baru yang bisa membuat mereka lebih rileks atau lebih tepatnya pakaian yang bisa menghidari astronot dari stres. Seperti apakah pakaian baru astronot tersebut?

Pakaian Baru Astronot Mampu Hindari Stres di LuarAngkasa

Saat ini ilmuwan dari Universitas Politeknik Florida sedang mengembangkan pakaian baru untuk para astronot yang bertugas di luar angkasa. Mereka menamainya pakaian bahagia atau ‘happy suit’ yang dirancang untuk melindungi para astronot dari efek perjalanan mengerikan secara psikologis.

Pakaian yang pembuatannya didanai oleh proram penelitian antariksa Florida milik Badan Penerbangan dan Antariksa Amerika Serikat (NASA), akan dipasang teknologi berupa jaringan sensor nirkabel yang mampu merespon vitalitas pemakainya dengan mengkalibrasi lingkungan secara langsung.

Masalah yang biasanya dialami oleh para astronot dan membuat stres antara lain perubahan suhu, warna terang, intensitas cahaya, dan kadar oksigen.

“Bagi para astronot sangat penting untuk menjaga keadaan mentalnya tetap sehat selama menjalankan misi. Sayangnya saat ini belum ada solusi yang dapat membantu astronot secara langsung agar mereka tidak merasa stres dan cemas. Teknologi ini akan memberi bantuan langsung ke keadaan pikiran mereka,” kata Arman Sargolzaei, asisten profesor teknik elektro.

Teknologi bernama ‘Smart Sensory Skin’ atau S3 akan disematkan dalam pakaian astronot serta pesawat luar angkasa, sehingga dokter di bumi dapat melacak tekanan darah, denyut jantung, dan sendi pemakainya. Sargolzaei menambahkan sebenarnya teknologi serupa sudah ada namun tidak praktis, sering tidak nyaman, dan datanya pasif sehingga dokter harus meninjau ulang terlebih dahulu.

Nah, teknologi yang dipasang pada pakaian baru astronot ini berbeda dari yang sudah ada sebelumnya itu. S3 diklaim lebih ringan dan lebih ergonomis. “Selain itu alat ini berperan aktif membuat astronot lebih bahagia, aman, bugar, dan lebih produktif,” tutupnya.

Benarkah ke Luar Angkasa Dapat Membahayakan Kesehatan Otak Astronaut?

Sebuah penelitian baru pada hewan pengerat telah menemukan adanya kerusakan otak dan masalah kognitif setelah enam bulan hewan-hewan tersebut terpapar radiasi ruang angkasa, radiasi serupa yang akan ditemukan oleh para astronaut. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa radiasi ruang angkasa dapat menyebabkan para astronaut dapat menderita permasalahan memori, kecemasan and ganguan lainnya.

“Ini bukan hal yang spele,” kata salah satu penulis penelitian Charles Limoli, seorang ahli syaraf dari University of California, Irvine. “Saya tidak berpikir bahwa selama perjalanan menuju Mars dan kembali ke bumi astronaut akan pulang dengan membawa sesuatu yang mirip dengan alzheimer. ”

Menurut penelitian serupa yang dilakukan tahun lalu , yang menemukan permasalahan yang terjadi di dalam otak dan perilaku tikus laboratorium setelah mereka terpapar radiasi. Saat ini, kelompok telah menemukan bahwa hewan pengerat yang teradiasi tertatih ketika sedang melakukan sesuatu dan uji memori, dan permasalahan tersebut terus terjadi selama hidupnya.

Dibandingkan dengan tikus lainnya, tikus yang terkena radiasi menjadi kurang tertarik dalam menyelidiki mainan baru, atau sebuah mainan yang dipindahkan ke lokasi baru di dalam kandangnya. Tikus yang terkena radiasu menjadi kurang fleksibel dalam merespon sebuah peruhanan di lingkungan mereka.

Tikus tersebut juga terlihat menjadi lebih cemas, lebih memilih untuk berada di tempat tertutup untuk berlindung di dalam labirin daripada bertualan ke daerah yang lebih terbuka. Mereka terlihat memiliki permaslaahan dalam tidak mempelajari sesuatu atau stress, kata Limoli. Hewan tersebut tidak dapat membendung rasa takut di dalam diri mereka.

Pada manusia, hal semacam ini berarti tingkat stress dan kecemasan yang tinggi dan perilaku yang merugikan dalam situasi yang tidak terduga atau darurat, tulis tim peneliti dalam makalah mereka yang diterbitkan pada 10 Oktober, lapor Scientific. Para astronaut kemungkinan juga dapat menderita dalam permaslahan mengingat sesuatu atau kesulitan dalam melakukan multitasking atau dalam mengambil keputusan. “Dan tentu saja terdapat beberapa kemungkinan risiko tinggi untuk terserang demensia dini setelah para astronaut ini kembali ke bumi,” kata Limoli.

Dia dan rekan-rekannya juga meneliti kerusakan otak yang mungkin disebabkan oleh hal semacam ini. Di dalam area yang diperiksa, struktur dendrit berduri yang menerima rangsangan dari syaraf lainya telihat memiliki duri yang lebih sedikit. Perlu diketahui bahwa duri ini membantu menyalurkan sinyal diantara neuron yang berperan dalam hal pembelajaran dan mengingat sesuatu. “Ketika kita melihat tikus-tikus tersebut, para tikus memperlihatkan performa terburuk dalam melakukan sesuatu, hewan-hewan tersebut juga memperlihatkan pengurangan jumlah duri dendrit terbesar,” jelas Limoli.

Dia dan rekannya menemukan pula peradangan yang terjadi pada otak tikus. Jejak peradangan ini dapat merangsang sistem kekebalan tubuh dan menyebabkan dendrit terpangkas. Suatu hal yang tidak ditemukan oleh tim peneliti adalah otak binatang tersebut pulih dari penderitaan mereka. “Hal tersebut adalah penemuan yang paling mengejutkan,” kata Limoli.

Bahkan dalam percobaan tim yang telah berlangsung menunjukkan bahwa permasalahan ini akan terus berlanjut . “Pada waktu hewan ini disiniari radiasi di bumi hanyalah beberapa menit dan saat ini kami melihat perubahan tersebut selama satu tahun, dan itu sangat mengejutkan,”

Pada manusia, hal tersebut kemungkinan akan tejadi pada beberapa bulan sebelum kerusakkan ini telihat jelas. Tetapi, ketika para astronaut memulai sebuah misi ke luar angkasa, kita masih belum mengetahui pesis bagaimana respon mereka terhadap radiasi sinar galatic kosmik. Untuk mempersiapkan, Limoli dan tim ingin mencari tahu wilayah otak bagian mana yang lebih rentan terhadap radiasi ruang angkasa. Mereka juga mengembangkan obat yang dapat membantu melindungi otak dari radiasi atau membantu untuk menyembuhkannya.

Namun para tim optimis. “Ekplorasi kami terhadap dunia yang baru tidak harus terhambat oleh rasa takur terhadap paparan radiasi kosmik,” tulis mereka. Sebaliknya, hal tersebut justru harus menginspirasi kita untuk memahami sebuah risiko dan mencari solusi yang potensial .

“Saya tidak berpikir bahwa hal ini berarti menghambat kita pergi keluar angkasa,” kata Limoli, “tapi jika kita mengetahui apa yang ada di luar sana, kita dapat mempersiapkan diri untuk menghadapinya dengan jauh lebih baik.”

Makanan para Astronot saat Berada di Luar Angkasa

Pernahkan Anda membayangkan bagaimana ahli gizi menyiapkan makanan untuk para astronot saat berada di luar angkasa?

Lembaga yang bertanggung jawab untuk menyediakan kebutuhan makanan yang bernutrisi untuk astronot adalah Johnson Space Center di Houston. Salah satu di antara pakar gizi disana ialah Maya Cooper. Maya mengatakan, ia dan timnya mencoba untuk membuat keseimbangan antara menyediakan kenyamanan tempat tinggal di luar angkasa dan makanan sehat.

Cooper mengatakan, banyak item di dalam menu yang mereka buat dengan rasa yang lezat. Tetapi masalahnya, kandungan garam di dalam makanan akan berkurang di luar angkasa. Jadi kami sekarang harus melakukan formulasi ulang di banyak menu agar makanan lebih terasa lezat.

Upaya ini dilakukan agar astronot merasa lebih nyaman seperti dirumah karena makanan yang dikonsumsi memiliki gizi yang tepat sesuai kebutuhan gizi mereka. Di luar angkasa, astronot akan kehilangan berat badanya karena pengaruh gravitasi. Oleh sebab itu, mereka membutuhkan lebih banyak energi dengan mengonsumsi sekitar 3000 kalori per hari.

Ilmuwan juga bisa mengontrol lingkungan di ISS (International Space Station) dengan akurasi yang pas karena mereka mengetahui dengan pasti makanan apa yang dikonsumsi oleh para astronot. Jadi mereka memiliki data yang pas mengenai pengaruh jenis makanan yang dikonsumsi terhadap tubuh dan psikis para astronot.

Salah satu alasan para ilmuwan harus terus meneliti pengaruh makanan terhadap tubuh astronot karena makanan yang dikirimkan, disimpan dengan proses penghangatan dalam waktu yang cukup lama, mengalami penurunan gizi dan vitamin.

Cooper juga pernah melakukan uji coba dengan memasukan semua vitamin yang dibutuhkan astronot ke dalam pil, akan tetapi cara itu malah memengaruhi pengalaman psikologis para astronot.

Makanan yang disediakan untuk kebutuhan astronot berbeda dengan yang disajikan di Bumi. Para pembuat makanan untuk astronot membuat makanan di dalam plastik kedap udara dan dibekukan untuk menghindari kerusakan. Cooper juga tidak lupa menyediakan dessert seperti puding, selai lemon, dan pai apricot. Tujuanya, supaya astronot merasa senang dan puas dengan makanan yang dimakan di luar angkasa.

 

Most Popular

To Top