Dimana ada gula disitu ada semut. Itulah pribahasa yang sering kita dengar sehari-hari bukan? Gula telah lama dikenal sebagai bahan pemanis makanan atau minuman, namun saat ini gula tidak hanya sebagai bahan pemanis atau sebagai makanan incaran para semut saja, karena saat ini gula dapat dijadikan sebagai bahan pembangkit tenaga listrik, kok bisa ya? Pada dasar nya gula hanya segelintir butiran yang menghasilkan rasa manis yang mampu menetralisirkan rasa bila di campur ke rasa yang pahit maka pahit nya menghilang dan jika di campurkan ke rasa pedas maka rasa pedas juga menghilang. Lalu bagaimana bisa gula menjadi bahan pembangkit listrik?
Gula Sumber Energi Terbaru
Sekelompok peneliti dari Massachusetts Institute of Technology yang melakukan penelitian untuk mencari tahu apakah gula bisa menjadi sumber daya yang besar. Tim peneliti tersebut menggunakan reaksi kimiawi untuk mengubah molekul yang ada di gula menjadi sebuah daya elektrik. Penelitian ini berawal dari energi ekstra yang didapat dari seseorang ketika mengonsumsi minuman atau makanan dengan kadar gula yang tinggi. Molekul gula merupakan kerapatan energi yang mudah untuk ditransfer dan termasuk murah. Tim peneliti berhasil membuat baterai berbahan dasar gula dengan daya energi mencapai 596 ampere jam per kilo. Daya ini 10 kali lebih tinggi dari material yang digunakan baterai sekarang ini, yakni lithium. Baterai yang terbuat dari gula ini sudah sama seperti yang digunakan pada perangkat elektronik modern, seperti smartphone dan tablet.
Beberapa penemuan biobattery terdahulu belum bisa menghasilkan tenaga listrik yang cukup besar. Saat di dalam tubuh manusia, gula diubah menjadi energi melalui proses metabolisme. Ketika gula terurai menjadi karbon dioksida dan air, gula akan melepaskan elektron. Demikian pula produksi energi yang terjadi pada biobattery. Elektron yang dilepaskan oleh gula akan ditangkap oleh alat yang serupa dengan penangkap elektron pada tubuh manusia untuk diubah menjadi energi listrik. Karena biobattery menggunakan material yang biologis, maka baterai itu bisa diperbaharui dan bebas racun. Itulah salah satu kelebihan baterai ini.
Percival Zhang dan Zhiguang Zhu adalah salah satu penemu biobattery dengan output yang lebih besar dibandingkan baterai jenis lithium-ion yang banyak digunakan alat-alat elektronik saat ini. Mereka menjelaskan penelitian tersebut dalam jurnal Nature Communications. Sementara baterai gula lainnya telah dikembangkan, namun baterai dari gula yang satu ini memiliki kepadatan energi yang urutannya lebih tinggi daripada yang lain yang memungkinkan untuk berjalan lebih lama sebelum diisi ulang. Namun Zhang mengatakan,ini bukanlah kali pertama para peneliti mengembangkan baterai dari gula. Sebelumnya pernah dilakukan hal serupa. Bedanya, baterai yang dikembangkan peneliti Virginia Tech mempunyai densitas energi yang lebih tinggi.
Dalam kurun waktu tiga tahun ini baterai baru Zhang dapat digunakan untuk beberapa barang elektronik seperti ponsel, tablet, video game dan berbagai gadget elektronik lainnya yang membutuhkan daya yang haus akan energi. “Gula adalah senyawa penyimpanan energi yang sempurna di alam” kata Zhang. “Jadi itu sangat logis bahwa kami mencoba untuk memanfaatkan kekuatan alam ini dengan cara yang ramah lingkungan untuk menghasilkan baterai”. Di Amerika saja banyak miliaran baterai beracun yang dibuang setiap tahun nya dan memberikan ancaman bagi lingkungan dan juga kesehatan manusia menurut Badan Perlindungan Lingkungan. Pengembangan Zhang bisa membantu menjaga ratusan ribu ton baterai yang berakhir di tempat pembuangan sampah.
Selain itu, ketika dikembangkan lebih lanjut, perangkat tersebut berpotensi menggantikan baterai sekali pakai dan diisi ulang ke dalam beragam jenis perangkat elektronik dan produk-produk lainnya. Baterai tersebut merupakan perangkat pertama yang didasarkan pada salah satu bagian mikroskopis dari miliaran sel yang membentuk tubuh. Sama seperti tubuh manusia yang memiliki organ-organ internal, seperti hati dan jantung, sel-sel yang membentuk tubuh memiliki struktur internal yang disebut organel (organ kecil).
Dalam membuat perangkat baterai biologi itu peneliti mencontoh cara kerja salah satu organel yang paling menakjubkan, yaitu mitokondria. Mitokondria di dalam sel berfungsi mengubah kalori dalam makanan menjadi energi kimia yang diperlukan oleh tubuh untuk mempertahankan hidup. Organel tersebut menggunakan bahan kimia yang terbentuk dari pencernaan gula dan lemak yang disebut piruvat untuk membuat adenosine triphosphate (ATP). Zat itulah yang mampu menyimpan energi hingga saatnya diperlukan tubuh. Setiap hari, mitokondria yang ada dalam tubuh seseorang dapat memproduksi dan mendaur ulang sejumlah ATP yang kadarnya sama dengan bobot tubuh orang itu. Dari penggambaran itulah dapat diketahui bahwa sistem yang mampu menghasilkan energi dengan dukungan zat gula (glukosa) atau lemak membuka kemungkinan diterapkan pula ke berbagai perangkat elektronik. Artinya, minyak nabati, lemak, atau gula berpeluang menjadi sumber tenaga pada ponsel atau laptop.
Para ilmuwan telah mengembangkan baterai dengan menggunakan bakteri dan enzim (sel bahan bakar) untuk menghasilkan listrik. Sel bahan bakar atau fuel cell memproduksi listrik dari energi kimia. Tidak seperti baterai umumnya, sel bahan bakar tenaganya tidak berkurang dan tidak perlu diisi ulang. Pasalnya, sel tersebut menghasilkan listrik terus-menerus selama bahan bakar dan oksigen tersedia. Bahan bakar yang diperlukan bisa berupa hidrogen, gas alam, dan alkohol. Dengan bahan bakar itulah, sel bahan bakar dapat mengubah energi menjadi listrik. Peneliti telah melakukan uji laboratorium terhadap sel bahan bakar dari mitokondria. Dalam uji itu, mereka menggunakan perangkat yang terdiri dari lapisan tipis mitokondria diapit dua elektroda, termasuk elektroda yang bisa dimasuki gas. Pengujian menunjukkan bahwa listrik diproduksi dengan menggunakan gula atau memasak produk samping sebagai bahan bakar minyak.
Pencapaian penting penelitian dan pengembangan ‘bio battery’
Melalui reaksi elektrokimia ini elektron akan melewati sirkuit luar untuk menghasilkan listrik. Untuk pengembangan ‘bio battery’ ini ada hal-hal penting yang harus diperhatikan, yaitu:
1. Adanya teknologi untuk meningkatkan imobilisasi enzim dan mediator pada elektroda
Agar penggunaan efektif glukosa terjadi, anoda harus memiliki mediator dan enzim konsentrasi tinggi dengan aktivitas yang tetap. Teknologi ini memakai dua polimer untuk merangkai komponen ke anoda. Tiap polimer bermuatan berlawanan sehingga interaksi elektrostatis antar dua polimer mengamankan enzim dan mediator. Kesetimbangan ionik dan dan imobilisasi telah dioptimalkan untuk pengekstrakan elektron dari glukosa secara efisien.
2. Struktur katoda untuk penyerapan oksigen yang efisien
Air dalam katoda penting untuk menjamin kondisi optimal untuk reduksi oksigen secara efisien. ‘Bio battery’ memakai elektroda karbon berporos yang memuat enzim terimobilisasi dan mediator yang dipartisi menggunakan pemisah selofan. Optimisasi struktur elektroda dan proses pemeliharaan tingkat air
yang sesuai dapat meningkatkan reaktivitas katoda.
3. Optimisasi elektrolit untuk memenuhi struktur sel ‘bio battery’
Penyangga fosfat 0.1 M biasanya dipakai pada penelitian enzim, tapi penyangga dengan konsentrasi tinggi 1.0 M digunakan pada ‘bio battery’. Ini berdasarkan penelitian bahwa tingkat konsentrasi tinggi sangat efektif untuk menjaga aktivitas enzim dalam elektroda.
4. Sel uji dengan daya output tinggi dan ukuran yang diinginkan
Sel uji dengan daya tinggi dan ukuran ‘bio baterry’ yang sesuai telah diproduksi dengan pemanfaatan teknologi ini. ‘Bio battery’ ini tidak memerlukan penyampuran, atau konveksi larutan glukosa atau udara; sebagai baterai pasif, cara kerjanya hanya menyuplai larutan gula ke unit baterai. Sel kubik menghasilkan 50 mW yang merupakan daya output terbesar diantara baterai tipe pasif dengan ukuran sekitar 39 mm setiap rusuknya. Dengan merangkai 4 sel kubik mampu untuk menyalakan walkman dan sepasang speaker. Tempat ‘bio battery’ gula ini terbuat dari plastik berbahan tumbuhan dan didesain dengan citra sel biologi.
Para peneliti mengharapkan kali pertama penerapan “baterai gula” itu pada ponsel. Idealnya charger ponsel akan berisi cartridge khusus yang telah terisi larutan gula. Dengan demikiandiharapkan baterai gula dapat digunakan sebagai pengganti baterai logam dan beracun yang selama ini mengisi berbagai perangkat elektronik portabel. Meski berhasil diciptakan, baterai ponsel berbahan dasar gula ini masih dalam bentuk purwarupa yang terus diuji coba. Namun belum jelas disebutkan kapan tahun perilisan baterai gula tersebut. Keren bukan? Semoga baterai gula ini cepat terliris dan dijual, jadi kita dapat terhidar dari pemakaian baterai yang beracun, semoga senang dengan artikel ini.
